Monday, October 9, 2017

CONTOH LANDASAN TEORI UNIVERSITAS SUNAN GUNUNG JATI (UIN SGD) Bandung

⦁ Teori yang Digunakan
⦁ Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
⦁ Definisi Konsep
Menelaah pengertian mengenai konsep, “secara umum konsep adalah suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok objek atau kejadian” (Carrol dalam Kardi, 1997:2). Dalam kamus besar bahasa indonesia (Anonimous, 1995: 456) konsep diartikan sebagai “rancangan ide atau pengertian yang diabstraksikan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”
“Konsep adalah ide-ide, pengambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah dan kata” (malo et. Al., 1986:46). Sedangkan para ahli lain berpendapat bahwa pengertian konsep adalah “ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata atau lambang bahasa” (Soedjadi, 2000:14).



Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep adalah untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari pengertian yang dapat menghamburkan tujuan penelitian.
⦁ Definisi Kecerdasan
Pemahaman makna kecerdasan merupakan awal dari aplikasi banyak hal yang terkait dalam diri manusia, terutama dalam dunia pendidikan. Kesepakatan atas paradigma dan makna tentang kecerdasan selanjutnya dapat menjadi awal penyusunan dan aplikasi sebuah sistem pendidikan.
Pembicaraan mengenai makna kecerdasan sangatlah luas. Teori-teori kecerdasan terus berkembang, mulai dari Plato, Aristoteles, Darwin, Alferd Binet, Stanberg, Piaget, sampai Howard Gardner. Perkembangan yang pesat ini mengerucut pada pola yang sama, yaitu makna kecerdasan banyak ditentukan oleh faktor situasi dan kondisi (konteks) yang terjadi pada saat teori tersebut muncul.
Semula kajian tetang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman dengan teori “ Two Factor”-nya, atau Thurstone dengan teory “Primary Mental Abilities”- nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Intelligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (Mental Age) dengan tingkat usia, merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Idiot sampai dengan Genius (Weschler dalam Syaodih, 2005: 25).

Istilah intelligence quotient (IQ) mula-mula diperkenalkan oleh Alfred binet, ahli psikologi dari perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan dikalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (1999: 23), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenal dengan sebutan EQ (Emotional Quetion). Goleman mengemukankan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual yang cenderung bersifat permanen, kecerdsan emosional justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup. Perkembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal- spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apa pun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya, pada saat-saat tertentu melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konotatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti ini menurut Zakiah Darajat (1992: 34) disebut sebagai pegalaman keagamaan (religious experience).
Izzudin (2009: 139), menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati, orang-orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.
Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Howard Gardner, pemimpin Project Zero Harvard University mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Teori Multiple Intelligences yang belakangan ini banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju, mulai menyita perhatian masyarakat.
Semua definisi mengenai kecerdasan dibentuk oleh waktu, tempat, dan budaya tempat konsep itu berkembang. Walupun definisi ini mungkin berbeda dari masyarakat yang satu ke yang lain, kami yakin bahwa dinamika di belakangnya dipengaruhi oleh matriks kekuatan yang sama: (a) bidang pemikiran pengetahuan yang perlu untuk keberlangsungan budaya, seperti pertanian, sastra atau seni; (b) nilai yang ada dalam budaya, seperti penghormatan kepada orang yang lebih tua, tradisi ilmiah, atau kecenderungan pragmatik; dan (c) sistem pendidikan yang mengatur dan memelihara berbagai individual.
⦁ Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
Multiple intelligences adalah sebuah teori kecerdasan yang di munculkan oleh Howard Gardner, adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan professor pada Universitas Harvard dari project Zero (kelompok riset) pada tahun 1983. Hal yang menarik dari teori kecerdasan ini adalah terdapat usaha untuk melakukan redefinisi kecerdasan.  Sebelum muncul teori multiple intelligences, teori kecerdasan lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes IQ, kemudian tes itu diubah menjadi angka standar kecerdasan. Gardner berhasil mendobrak dominasi teori dan tes IQ yang sejak 1905 banyak digunakan oleh para pakar psikolog di seluruh dunia (Chatib 2013: 132).
Sangat berbeda definisi kecerdasan yang dibuat Gardner dengan definisi kecerdasan yang telah berlaku sebelumnya. Menurut Gardner kecerdasan seseorang tidak diukur dari hasil tes psikologi standar, namun dapat dilihat dari kebiasaan seseorang menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving) dan kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity).
Multiple intelligences punya metode discovering ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Metode ini meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan. Dalam teori multiple intelligences menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan dan mengubur kelemahan kita. Proses menemukan inilah yang menjadi sumber kecerdasan seorang anak. Dalam menemukan kecerdasan, seorang anak harus dibantu oleh lingkungan, orang tua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan di suatu negara (Chatib, 2013: 74-78).
 Thomas Armstrong (2009: 27) menjelaskan bahwa,
 Teori multiple intelligences memperluas lingkup potensi dalam diri manusia di luar batas-batas nilai IQ.  Dalam mengembangkan teori multiple intelligences harus berhati-hati untuk tidak menggunakan istilah kecerdasan diukur menggunakan IQ. Dalam menggambarkan perbedaan individual semua orang memiliki kecerdasan. Kemungkinan seseorang yang dianggap memiliki kecerdasan yang lemah dapat berubah menjadi kuat setelah diberi kesempatan untuk berkembang. Titik kunci multiple intelligences adalah kebanyakan orang dapat mengembangkan kecerdasan ke tingkat yang relatif dapat dikuasainya.

Muhammad Yaumi (2012: 12-14) menjelaskan dalam teori multiple intelligences dibagi dalam roda domain kecerdasan jamak untuk memvisualisasikan hubungan tidak tetap antara berbagai kecerdasan yang dikelompokkan dalam tiga wilayah atau domain yakni: interaktif, analitik, dan introspektif. Ketiga domain ini dimaksudkan untuk menyelaraskan kecerdasan dengan siswa yang ada kemudian diamati oleh guru secara rutin di dalam ruang kelas.
Menurut Julia Jasmine (2012: 11),
Teori multiple intelligences adalah validasi tertinggi, gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting. Pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung dalam pengenalan, pengakuan, dan penghargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa (pelajar) belajar, di samping pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar. Teori multiple intelligences bukan hanya mengakui perbedaan individual ini untuk tujuan-tujuan praktis, seperti pengajaran dan penilaian tetapi juga menganggap serta menerimanya sebagai sesuatu yang normal, wajar, bahkan menarik dan sangat berharga. Teori ini merupakan langkah raksasa menuju suatu titik dimana individu dihargai dan keragaman dibudidayakan.

Teori multiple intelligences adalah gagasan bahwa perbedaan individu sangat penting. Pemakaian dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa belajar, disamping pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar.
Dalam Islam sebenarnya sudah dikemukakan berbagai pengembangan tentang kecerdasan manusia, yaitu terdapat di dalam ayat- ayat Al-Qur’an.  Kecerdasan eksistensial spiritual merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam hubungannya dengan suatu kosmos yang tak terbatas dengan kondisi manusia seperti makna penciptaan dirinya, kehidupan, kematian dan perjalanan akhir dari dunia.  Hal ini sesuai dengan ayat :
    
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.  (QS. Al Fatihah: 6)

Dari ayat tersebut dapat diambil hubungan antara kecerdasan eksistensial spiritual dengan hidayah (petunjuk) yang Allah berikan kepada manusia melalui naluri, pancaindera, akal, maupun benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia. Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat Yang Gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berhutang budi pada Zat Yang Gaib, maka dia berfikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi serta bagaimana cara menyembah Zat yang Gaib itu.
Dalam dunia pendidikan, teori Multiple Intelligences memberikan pendekatan pragmatis pada bagaimana kita mendefinisikan kecerdasan dan mengajari kita memanfaatkan kelebihan siswa untuk membantu mereka belajar. Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi sembilan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ  hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003: 17).
Setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.

⦁ Macam-macam Kecerdasan
Menurut T. Amstrong ( 2004: 25) dalam bukunya “kamu itu lebih cerdas daripada yang kamu duga” anak-anak memliki Multiple intelligences. Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai  kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu seting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik.
Suyadi, dalam bukunya “Anak yang Menakjubkan”, menuliskan kembali definisi setiap kecerdasan Gardner dengan cara sederhana dan mudah dipahami (Chatib, 2012: 88-89) , yaitu:
⦁ Linguistic intelligences: kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun kalimat.
⦁ Logical mathematical intelligences: kemampuan menghitung, aritmatic, dan berpikir logis, analitis sampai pada sistem berpikir yang rumit.
⦁ Musical intelligences: kemampuan memahami nada musik, komposisi
⦁ Spatial intelligences: kemampuan untuk melihat sesuatu dalam perspektif (think inpicture), mampu mempersepsi lingkungan, mengekspresikan gagasan dalam gambar, coretan, atau lukisan.
⦁ Bodily kinesthetic intelligences: kemampuan mengkoordinasikan fisik/tubuh, utamanya kita lihat para atlit.
⦁ Interpersonal intelligences: kemampuan memahami orang lain
⦁ Intrapersonal intelligences: kemampuan memahami emosinya sendiri.
⦁ Naturalist intelligences: kemampuan mengenal benda-benda di sekitar
⦁ Kecerdasan eksistensial: kemampuan merasakan dan menghayati berbagai pengalaman nurani atas pelajaran atau pemahaman sesuai keyakinan kepada Tuhan. Biasanya, kecerdasan ini dimiliki oleh para hali spiritual (sufi), ruhaniawan (tokoh agama), atau filsuf.
Ketika proses pembelajaran berlangsung, siswa diberi kesempatan untuk berbicara dalam menggunakan kecerdasan linguistik, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir logis dan menggunakan angka dalam rangka mengembangkan kecerdasan logis-matematis, memberikan kesempatan siswa mendapat informasi dari gambar dalam mengembangkan kecerdasan visual, memberikan kesempatan siswa mengarang lagu dan menggunakan musik dalam menerima informasi untuk mengembangkan kecerdasan musikal, memberi kesempatan siswa berakting dan pengalaman fisik lainnya dalam mengembangkan kecerdasan kinestetik tubuh mereka, mengadakan refleksi diri dan pengalaman sosial dalam rangka mengembangkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal siswa. Serta dengan mengadakan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat mengembangkan  ragam kecerdasan yang dimiliki siswa, pada saat pembelajaran berlangsung.
Biasanya guru, karena memiliki kecerdasan tertentu yang menonjol, cenderung menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kecerdasan tersebut secara terus menerus. Guru yang menonjol dalam inteligensi linguistik akan senang mengajar dengan menggunakan model inteligensi itu, seperti berceramah, bercerita panjang lebar, dengan puisi, membaca, dan sebagainya. Guru yang memiliki kecerdasan matematis-logisnya menonjol akan lebih senang mengajar dengan menekankan cara pendekatan matematis-logis; secara sistematis, dengan skema, bagan, rumus, dan sebagainya. Guru tersebut jarang mengajar dengan menggunakan kecerdasan kinestetik-badani, interpersonal, ruang-visual, natural, atau lainnya, yang mungkin lebih cocok untuk siswa. Akibatnya, siswa yang tidak memiliki kecerdasan yang sama dengan yang digunakan guru kurang merasa terbantu secara baik dalam belajarnya. Bahkan bisa jadi siswa tersebut merasa tidak belajar apapun, karena guru mengajar dengan pendekatan yang cocok untuk dirinya sendiri.
Chatib (2013: 70) memaparkan dalam bukunya yang berjudul “Sekolahnya Manusia”, bahwa dalam faktanya, banyak  siswa mengalami kebingungan dalam menerima pelajaran karena tidak mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru. Banyaknya kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidak sesuaian gaya mengajar guru dengan gaya belajar siswa. Sebaliknya, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran (termasuk pelajaran matematika) akan terasa sangat mudah dan menyenangkan. Guru juga senang karena punya siswa yang semuanya cerdas dan berpotensi untuk sukses.
⦁ Pembelajaran Matematika
Pembelajaran sebagaimana didefinisikan oleh Oemar Hamalik  (2001: 57),  merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, internal material fasilitas dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran secara umum adalah suatu proses belajar mengajar. Sama halnya dengan belajar, mengajar pada hakikatnya juga  suatu proses yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar peserta didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada peserta didik dalam melakukan proses belajar (Sudjana, 1995: 29).
Perlu dipahami pula bahwa aktivitas belajar ditekankan pada terjadinya perubahan tingkah laku manusia, sehingga belajar cenderung melakukan aktivitas. Belajar berdasar aktifitas secara umum jauh lebih efektif daripada yang didasarkan presentasi atau ceramah karena peserta didik tidak  sepenuhnya terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran.
 Menurut Dave Maler (2003: 90-91), gerakan fisik dapat meningkatkan proses mental peserta didik sebab otak manusia yang terlibat dalam dalam gerakan tubuh (korteks motor) terletak tepat di sebelah bagian otak yang digunakan untuk berpikir dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menghalangi gerakan tubuh berarti menghalangi pikiran untuk berfungsi secara maksimal, sebab melibatkan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya. Kegiatan belajar dalam proses pembelajaran merupakan subsistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain secara fungsional.
Menurut Amin Suyitno (2006: 1), pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan peserta didik serta antara peserta didik dengan peserta didik.
Ismail SM  (2008: 9), dalam bukunya “PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)”, menyebutkan bahwa istilah pembelajaran merupakan perubahan istilah yang sebelumnya dikenal dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dalam proses pembelajaran melibatkan dua pihak, yaitu guru dan peserta didik yang di dalamnya mengandung dua proses sekaligus, yaitu mengajar dan belajar (teaching and learning).
Dari penjelasan di atas dapat didefinisikan kembali bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan di dalam tingkah laku yang tampak sebagai hasil dari pengalamannya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah suatu proses interaksi dalam kegiatan belajar mengajar yang terjadi antara guru, peserta didik  dan lingkungan sekitar dalam menguasai beberapa kompetensi terkait matematika.

⦁ Definisi Matematika
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang menggunakan prinsip deduktif, yaitu suatu prinsip dari tinjauan umum ke tinjauan khusus. Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran (Ruseffendi, 1988: 148).
Menurut James dan James (2001: 18) dalam kamus matematikanya yang dikutip dalam buku Erman Suherman, bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri.
 Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Erman Suherman, 2003:16). Matematika terdiri dari empat wawasan yang luas, yaitu: Aritmetika, Aljabar, Geometri dan Analisis. Selain itu matematika adalah ratunya ilmu, maksudnya bahwa matematika itu tidak bergantung pada bidang studi lain. Sementara menurut Depdiknas (2006: 346), bahwa matematika meliputi aspek-aspek bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran serta statistika dan peluang.
Menurut Abdul Halim Fathani (2009: 19), matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logika dan masalah yang berhubungan dengan bilangan.
Dari  beberapa definisi tentang matematika di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu yang berkaitan dengan angka, struktur dan hubungan-hubunganya yang diatur secara terorganisasi menurut urutan yang logis dan matematis.

⦁ Karakteristik Matematika
Karakteristik matematika (sumardyono, 2004: 30-42) yaitu sebagai berikut: matematika memiliki objek kajian abstrak yang terdiri dari: Fakta Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya diungkapkan melalui simbol-simbol tertentu, Operasi atau relasi Operasi adalah pengerjaan hitung, Konsep Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengkategorikan sekumpulan objek, Prinsip Prinsip adalah objek matematika yang terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi.
Matematika bertumpu pada kesepakatan Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Hal tersebut dapat dicontohkan yakni lambang bilangan yang digunakan sekarang adalah 1, 2, 3 dan seterusnya yang merupakan contoh sederhana dari sebuah kesepakatan matematika.
Berpola pikir deduktif dalam matematika hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.
Konsisten dalam sistemnya dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang berkaitan namun ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya. Sistem-sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri dapat dipandang lepas satu dengan lainnya.
Memiliki simbol yang kosong dari arti dalam matematika banyak sekali simbol baik yang berupa huruf latin, huruf yunani maupun simbol-simbol khusus lainnya. Simbol-simbol tersebut membentuk kalimat dalam matematika yang biasa disebut model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan maupun fungsi.
Memperhatikan semesta pembicaraan Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika, bila kita menggunakannya kita harus memperhatikan pula lingkup pembicaraannya. Lingkup atau biasa disebut semesta pembicaraan bisa sempit bisa pula luas. Bila kita berbicara tentang bilangan-bilangan maka simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula. Begitu pula ketika kita berbicara tentang transformasi geometris seperti translasi, rotasi dan lain-lain maka simbol-simbol matematikanya menunjukkan suatu transformasi pula. Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaian suatu soal atau masalah juga ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan.
Berdasarkan pengertian dan karakteristik matematika tersebut, maka proses pembelajaran matematika dapat digunakan dengan model kecerdasan ganda (Multiple Intelligences). Berdasarkan teori kecerdasan majemuk, untuk melaksanakan proses pembelajaran matematika agar tumbuh secara optimal, guru harus memperhatikan potensi yang dimiliki siswa, termasuk kecerdasan.
Relevansi teori multiple intelligences dengan pembelajaran matematika adalah penyajian konsep-konsep matematika akan lebih mengena jika dikaitkan dengan karakter (tipikal) masing-masing anak. Hal ini sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan
Guru perlu menyadari bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa adalah berbeda-beda. Oleh karena itu, guru harus mampu mengemas setiap materi pembelajaran matematika dengan menarik yang disertai dan sarat dengan pengetahuan yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan potensi yang ada pada siswa atau peserta didik. Dengan begitu, pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh siswa berdasarkan tingkat kecerdasan yang berbeda akan lebih membantu penyesuaian materi dengan melihat kondisi rill yang ada.
⦁ Ciri-ciri Pembelajaran Matematika SD / MI.
Beberapa ciri pembelajaran matematika SD/MI adalah sebagai berikut:
⦁ Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral, dalam pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan materi sebelumnya.
⦁ Pembelajaran matematika bertahap, yaitu dimulai dari hal yang konkret dilanjutkan ke hal yang abstrak, dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks atau dari konsep-konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sulit.
⦁ Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap perkembangan mental siswa SD/MI, pada pembelajaran matematika di SD/MI digunakan pendekatan induktif maka digunakan penalaran induktif untuk menjelaskan matematika kepada siswa SD/MI. Metode penalaran induktif yaitu suatu proses berpikir yang berlangsung dari kejadian khusus menuju umum.
⦁ Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi, artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan yang lainnya.
⦁ Pembelajaran matematika hendaknya bermakna Pembelajaran secara bermakna merupakan cara pengajaran materi pembelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan.
⦁ Tujuan Pembelajaran Matematika
Prihandoko (2006: 5) mengemukakan tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk menghadapi materi-materimatematika pada tingkat pendidikan lanjutan. Depdiknas (Prihandoko, 2006: 21) menguraikan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berfikir sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten, serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah
Wakiman (2001: 4) mengemukakan bahwa tujuan pengajaran matematika di Sekolah Dasar dibagi menjadi dua tujuan sebagai berikut:
⦁ Tujuan umum, dalam tujuan umum matematika SD bertujuan agar siswa sanggup menghadapi perubahan keadaan, dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika.
⦁ Tujuan khusus, dalam tujuan khusus matetaika SD bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan, keterampilan berhitung, menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan, mengembangkan kemampuan dasar matematika sebagai bekal belajar di SMP, dan membentuk sikap logis, kritis, kreatif, cermat serta disiplin.

Selain itu, matematika mempunyai manfaat yaitu dapat membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan (Subarinah, 2006: 1). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sujono (Prihandoko, 2006: 10) mengemukakan bahwa nilai utama yang terkandung dalam matematika adalah nilai praktis, nilai disiplin dan nilai budaya. Matematika dikatakan mempunyai nilai praktis karena matematika merupakan suatu alat yang dapat langsung dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Matematika terdapat nilai kedisiplinan dengan maksud bahwa belajar matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola pemikirannya. Matematika mempunyai nilai budaya karena matematika muncul dari hasil budaya manusia dan berperan besar dalam perkembangan budaya itu sendiri.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa matematika bertujuan melatih dan menumbuhkan cara berfikir sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten untuk menghadapi materi-materi matematika pada tingkat lanjut, serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah dan mempunyai nilai utama yang terkandung sehingga matematika bermanfaat dalam membentuk pola pikir siswa.



⦁ Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
⦁ Perencanaan
Pembelajaran dengan teori inteligensi perlu dipersiapkan sebaik-baiknya. Guru perlu merancang pembelajaran dan apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran. Paul Suparno (2004: 79) menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan pembelajaran berbasis multiple intelligences agar proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan harapan yang diinginkan. Adapun Langkah-langkah tersebut yaitu:
⦁ Mengenal kecerdasan ganda pada siswa, untuk dapat meneliti kecerdasan siswa, antara lain melalui tes, observasi siswa di kelas dan observasi siswa di luar kelas.
⦁ Mempersiapkan pengajaran, pada langkah ini guru perlu mempersiapkan lebih dulu bagaimana ia akan mengajar dengan teori inteligensi. Dalam persiapan itu guru akan meneliti kemungkinan-kemungkinan bentuk kecerdasan ganda yang dapat digunakan untuk mengajar suatu topik untuk diajarkan. Setelah itu guru guru menyusunnya dalam urutan yang nantinya dapat digunakan dalam mengajar. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan mengajar yaitu berfokus pada topik tertentu, mempertanyakan pendekatan kecerdasan ganda yang cocok dengan topik serta mengurutkan dalam rencana pelajaran.
⦁ Strategi Pengajaran disesuaikan dengan kecerdasan siswa yang akan diajar pada saat itu juga.
⦁ Menentukan Evaluasi/ penilaian, penilaian yang akan digunakan oleh guru sebaiknya sudah disiapkan terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran, hal tersebut akan berguna untuk memudahkan guru dalam hal penilaian.
Selain  langkah-langkah yang diungkapkan oleh Paul Suparno di atas, beberapa ahli menyebutkan bahwa dalam pembelajaran perlu adanya sebuah persiapan terlebih dahulu, yaitu dengan membuat sebuah rencana pembelajaran yang kemudian disebut dengan lesson plan. Hal tersebut ditegaskan oleh Munif Chatib ( 2013: 192) bahwa lesson plan digunakan
sebagai perencanaan yang dibuat oleh guru sebelum mengajar untuk memberikan arahan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Struktur dan bentuk lesson plan menurut Munif Chatib (2012: 57) meliputi:
⦁ Header atau pembuka berisi identitas dan keterangan silabus. Identitas mencakup keterangan lesson plan yang memiliki beberapa aspek, antara lain:
⦁ Nama guru, berisi nama lengkap guru yang membuat lesson plan.
⦁ Sekolah berisi nama instansi tempat pembelajaran akan berlangsung.
⦁ Bidang studi berisi mata pelajaran yang akan dipelajari. Selain itu, isian pada bidang studi dapat diganti dengan tema atau subtema. Tema berisi tentang ide pokok dari materi yang akan dipelajari meliputi gabungan dari kompetensi dasar beberapa mata pelajaran, sedangkan subtema mencakup bagian kecil dari tema.
⦁ Kelas/semester berisi kelas tempat melaksanakan pembelajaran dan semester yang sedang berjalan pada waktu pembelajaran berlangsung.
⦁ Tanggal pembuatan yaitu tanggal pembuatan lesson plan.
⦁ Tanggal pelaksanaan yaitu tanggal pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan lesson plan yang telah dibuat.
⦁ Content atau isi, berupa aktivitas pembelajaran yang terdiri dari:
⦁ Apersepsi, meliputi zona alfa, warmer, pre-teach, dan scene setting.
⦁ Strategi pembelajaran.
⦁ Prosedur aktivitas, berisi rangkaian tahap dari kegiatan pra pendahuluan, kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
⦁ Teaching Aids, peralatan atau perlengkapan yang diperlukan guru untuk mengajar.
⦁ Evaluasi, berisi tentang teknik yang digunakan guru untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi yang sudah dimiliki siswa saat dan setelah pembelajaran. Alat ukur dalam evaluasi berupa tes. Sedangkan berdasarkan cara pelaksanaannya, tes dibedakan menjadi tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan.
⦁ Footer atau penutup, pada bagian ini berisi tentang keterangan pembuat lesson plan dan kepala sekolah, serta lampiran yng memuat rubrik penilaian, ringkasan materi, dan komentar guru.
⦁ Pelaksanaan
Menurut Munif Chatib (2010 : 108) multiple intelligences awalnya  merupakan teori kecerdasan dalam ranah psikologi. Ketika ditarik ke dunia pendidikan multiple intelligences menjadi sebuah strategi pembelajaran untuk materi apapun dalam semua bidang studi. Selanjutnya dijelaskan lagi oleh Munif Chatib (2011 : 33) bahwa setiap siswa punya gaya belajar masing-masing, yang juga dapat berubah. Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan  gaya belajar siswa tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Paul Suparno (Suparno, 2004 : 56) bahwa Setiap siswa mempunyai kecerdasan yang dapat berbeda dan siswa akan lebih mudah belajar bila materi dapat didekati dengan inteligensi mereka yag menonjol.
R. Hoer (2007 : 119) menjelaskan mengenai beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru untuk menerapkan teori multiple intelligences di dalam pembelajaran, antara lain:
⦁ Kecerdasan bahasa, hal yang dapat dilakukan guru dikelas adalah mendorong penggunaan kata-kata lazim, dan palindrom, melibatkan siswa dalam debat dan presentasi lisan, dan menunjukan bagaimana puisi dapat menyampaikan emosi.
⦁ Kecerdasan logika mtematika, hal yang dapat dilakukan guru dikelas adalah menggunakan diagram venn untuk membandingkan, mengunakan grafik, tabel, dan bagan waktu, meminta siswa mendemonstrasikan dengan benda-benda nyata, dan meminta siswa menunjukkan urutan.
⦁ Kecerdasan musikal, hal yang dapat dilakukan guru di kelas adalah mengubah lirik lagu untuk mengajarkan konsep, mendorong siswa menambahkan musik dalam drama, menciptakan rumus atau hafalan berirama, mengajarkan sejarah dan geografi melalui musik dari masa dan tempat terkait.
⦁ Kecerdasan kinestetik, hal yang dapat dilakukan oleh guru di kelas adalah dengan menyediakan kegiatan untuk tangan dan bergerak, menawarkan kesempatan berakting, membiarkan murid bergerak selama bekerja, memanfaatkan kegiatan menjahit, membuat model dan lain-lain yang memerlukan keterampilam motorik halus.
⦁ Kecerdasan visual-spasial, hal yang dapat dilakukan oleh guru di dalam kelas adalah dengan menggambar peta dan labirin, memimpin kegiatan visualisasi, mengajarkan pemetaan pikiran, menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan pemahaman melalui gambar, meminta siswa merancang bangunan, pakaian, pemandangan untuk peristiwa atau sejarah periode.
⦁ Kecerdasan interpersonal, hal yang dapat dilakukan guru di dalam kelas antara lain dengan meminta siswa mengerjakan proyek bersama, diskusi dan debat panel, bermain peran dan wawancara.
⦁ Kecerdasan intrapersonal, hal yang dapat dilakukan guru di dalam kelas antara lain dengan melakukan survei (untuk memudahkan siswa membandingkan diri dengan orang lain), auotobiografi dan jurnal, grafik pengalaman dan portofoli.
Muhammad Yaumi (2013: 47) menjelaskan strategi mengajar dengan menggunakan multiple intelligences sebagai berikut:
⦁ Mengembangkan kecerdasan Linguistik-verbal, dapat dilakukan oleh guru dengan cara: sumbang pendapat (brainstorming), mendongeng/ bercerita, menulis jurnal, membaca biografi mewawancarai, bermain berbalas pantun, membuat laporan buku, berdebat, dan membuat humor.
⦁ Mengembangkan kecerdasan logis-matematis, untuk menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan ini antara lain: mengajak siswa berfikir kritis, bereksperimen, penyelesaian masalah, membuat (simbol-simbol abstrak, pola-pola, dan kategorisasi), membuat silogisme (jika... maka...) dan membuat diagram venn.
⦁ Mengembangkan kecerdasan visual-spasial, untuk mengembangkan kecerdasan visual-spasial yang dimiliki peserta didik, guru dapat menerapkan strategi-strategi dengan cara: membuat potongan-potongan kertas warna-warni, mewarnai gambar, membuat sketsa, membuat visualisasi, pemetaan ide, membuat peta, membuat diagram, membuat karya seni, melukis dan membuat ukiran.
⦁ Mengembangkan kecerdasan kinestetik, untuk menumbuhkan dan mengembangkan kecerdsan kinestetik ini antara lain: studi lapangan (field trip), bermain peran, berpantomim, menggunakan bahasa tubuh, demonstrasi, menggunakan anggota tubuh untuk melakukan sesuatu, bermain tebak-tebakan bermain teater di ruang kelas, dan bertukar kunjungan di kelompok kelas.
⦁ Mengembangkan kecerdasan musikal, beberapa strategi pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan  kecerdsan musikal adalah: menciptakan dan menyusun musik, membuat konsep lagu untuk materi pembelajaran.
⦁ Mengembangkan kecerdasan interpersonal, berbagai aktivitas pembelajaran yang sesuai adalah sebagai berikut: dengan cara jigsaw, mengajar teman sebaya, bekerja tim, diskusi kelompok, membuat dan melakukan wawancara, menebak karakter orang lain (teman satu kelas).
⦁ Mengembangkan kecerdasan intrapersonal, untuk mngembangkan kecerdasan intrapersonal peserta didik antara lain: melakukan tugas mandiri, melakukan refleksi, mengungkapkan perasaan, membuat identitas diri, dan membuat autobigrafi sederhana.
⦁ Mengembangkan kecerdsan naturalistik, aktivitas yang dapat megembangkan kecerdsan naturalistik adalah: belajar melalui alam, menggunakan alat peraga tanaman, membawa binatang peliharaan dalam ruang kelas, mengobservasi flora dan fauna, dan mengumpulkan gambar binatang.
⦁ Mengembangkan kecerdasan eksistensialis, adapun strategi pembelajaran yang sesuai dengan kecerdasan eksistensial adalah: membuat respon tentang sesuatu, membuat panggung beramal, berdiskusi tentang isu-isu sosial, menulis tentang persoalan sosial.



Pelaksanaan Pembelajaran (Chatib, 2013: 165-167):
⦁ Kegiatan Pendahuluan (Apersepsi)
Pada kegiatan pendahuluan atau apersepsi pembelajaran berbasis Multiple Intelligences, setidaknya beberapa langkah yang harus dilakukan guru:
⦁ Ice Breking merupakan tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengantarkan peserta didik memasuki zona alfa. Tindakan yang dilakukan dapat berupa permainan singkat yang melibatkan semua peserta didik dalam satu kelas.
⦁ Warmer  atau pemanasan adalah mengulang kembali materi yang sebelumnya diajarkan oleh guru.
⦁ Pre-Tech adalah aktivitas yang harus dilakukan sebelum kegiatan inti pembelajaran, yang berupa pengarahan tentang tatacara menggunakan peralatan, alur diskusi, atau prosedur yang harus dilakukan siswa sebelum berkunjung ke suatu tempat.
⦁ Scene Setting adalah aktivitas yang paling dekat dengan strategi pembelajaran dengan maksud untuk membangun konsep awal pembelajaran. Pada tahap ini guru mulai mencoba mengkontekstualkan materi yang akan disampaikan dengan masalah nyata.
⦁  Teaching aid, merupakan perangkat-perangkat pendukung yang dipakai guru dalam memilih model atau strategi pembelajaran. Fungsi utamanya sebagai alat peraga pembelajaran.
⦁ Kegiatan Inti
Sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007, secara garis besar kegiatan inti mencakup tiga aspek:

⦁ Eksplorasi pada tahap ini guru beserta peserta didik mencoba mengkontekstualkan materi yang akan dipelajari dengan permasalahan disekitarnya atau mengkaitkan dengan materi yang lain. Dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelligences, tahapan eksplorasi melekat pada tahap scene setting.
⦁ Elaborasi merupakan kegiatan yang melibatkan peserta didik secara penuh dalam proses pembelajaran. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan peserta didik dapat berupa diskusi, mencatat, atau melakukan tugas lain. Tahapan ini dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelligences yang disebut sebagai prosedur aktivitas.
⦁ Konfirmasi pada tahap ini guru melakukan umpan balik dari hasil eksplorasi dan elaborasi.
⦁ Kegiatan penutup Pada tahap ini guru bersama murid melakukan review terhadap hasil pembelajaran.
⦁ Evaluasi/ Penilaian
Teori multiple intelligences menganjurkan sistem yang tidak bergantung pada tes standar atau tes yang didasarkan pada nilai formal, tetapi lebih banyak didasarkan pada penilaian autentik, Munif Chatib (2012: 155).
⦁ Pengertian Penilaian Autentik
Menurut Abdul Majid (2007: 186-187), penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Selanjutnya, Udin Syaefudin Sa’ud (2011: 172) menjelaskan, penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini  dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan meliputi seluruh aspek domain penilaian. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses pembelajaran bukan kepada hasil belajar.  
Kunandar (2013: 36) yang menyatakan bahwa penilaian autentik adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai baik proses maupun hasilnya dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi yang ada di standar kompetensi atau kompetensi inti maupun kompetensi dasar. Senada dengan pendapat Kunandar, Abdul Majid (2007: 186-187) menjelaskan bahwa penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas terkait penilaian autentik, peneliti menyimpulkan bahwa penilaian autentik merupakan jenis penilaian yang bukan hanya dilihat dari hasil saja, namun juga penilaian yang menekankan pada proses pembelajaran berlangsung, karena dalam penilaian autentik ini dinilai terus menerus selama proses pembelajaran.
⦁ Jenis-jenis penilaian autentik
penilaian autentik memiliki ciri-ciri yang lebih komprehensif atau lebih menyeluruh dalam menilai siswa. (menurut Munif Chatib (2013: 168) terdapat 3 ranah dalam penilaian autentik, yaitu:
⦁ Penilaian Kognitif, terdapat beberapa tingkatan yang terdapat pada ranah kognitif siswa. Kompetensi ranah kognitif tersebut meliputi tingkatan menghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, menyintetis dan mengevaluasi. Adapun alat penilaiannya adalah sebagai berikut:
⦁ Tes lisan, berupa pertanyaan lisan yang digunakan untuk mengetahui daya serap siswa terhadap masalah yang berkaitan dengan kognitif. Indikator skala penilaianya dari salah benarnya jawaban siswa dan kualitas jawaban.
⦁ Tes tertulis, berupa isian singkat, pilihan ganda, menjodohkan, uraian objektif, uraian non objektif, hubungan sebab akibat, hubungan konteks, klasifikasi, atau kombinasinya. Indikator skala penilaiannya melalui perbandingan antara jumlah soal yang benar dan jumlah soal, lalu kualitas jawaban siswa dalam menjawab pertanyaan esai.
⦁ Penilaian Psikomotorik, kompetensi ranah psikomotorik merupakan kompetensi yang dapat dinilai dengan siswa melakukan kegiatan pembelajaran bukan tes, melainkan sebuah aktivitas yang memerlukan gerak tubuh atau perbuatan. Kemendikbud (2014: 36-37) menyebutkan bahwa penilaian keterampilan (psikomotorik) dapat menggunakan penilaian unjuk kerja atau praktik, projek, dan portofolio. Skala penilaian ranah psikomotorik dapat berupa penentuan rubrik penilaian, penentuan angka skala penilaian, dan pencatatan hasil aktivitas. Skala penilaian psikomotorik ditentukan secara subyektif oleh guru.
⦁ Penilaian Afektif, Kemendikbud (2014: 35-36) menjelaskan penilaian sikap dapat dinilai dengan menggunakan teknik observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan jurnal catatan guru. Penilaian pada ranah afektif meliputi penilaian pada peningkatan pemberian respon, sikap, apresiasi, penilaian, minat, dan internalisasi. Penilaian afektif ini digunakan untuk mengetahui karakter siswa dalam proses pembelajaran.
  Terdapat bermacam-macam indikator penilaian afektif, namun minimal harus memenuhi lima persyaratan indikator (Munif Chatib, 2013: 174), sikap siswa terhadap dirinya sendiri selama proses pembelajaran, hubungan dengan guru selama proses pembelajaran,  sikap dengan teman-temannya selama proses pembelajaran, hubungan dengan lingkunganya selama proses pembelajaran, dan Respon siswa terhadap materi pembelajaran.
Peneliti menyimpulkan bahwa dalam penilaian autentik terdapat tiga ranah yang harus dinilai, yaitu: ranah kognitif, ranah pikomotorik dan ranah afektif, dimana ketiga ranah penilaian tersebut masing-masing memiliki alat penilaian sendiri-sendiri

No comments:

Post a Comment