A.
MATERI
TUNJANGAN UNTUK UMAR BIN KHATTAB
Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah
baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya,
yaitu Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai
merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan
Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu.Di antara mereka ada yang berkata,
“Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk
beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan
hidup beliau.”‘
Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada
waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah
‘Umar.Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan
langsung disampaikan kepada ‘Umar.Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu
melalui puteri beliau, Hafshah.Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada
kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya
memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya
jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi
Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya
untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak
menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika
Hafshah menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang
mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya tidak
akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah
tentang usulan itu”.
Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang
mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah
itu, ‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika
Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di
rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua
pakaian.Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai
sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh
Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan
minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di
rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal
yang dipakai untuk alas tidur di musim panas.Jika musim dingin tiba, separuhnya
kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alastidur.”‘Umar
kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa
Rasulullah saw.
selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka
yang berhak.Oleh karena itu, aku punakan mengikuti jejak beliau.Perumpamaanku
dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang
sedang berjalan.Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat
tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya.Setelah keduanya sampai,
yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya.Ia menggunakan bekal kedua
kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua
kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya
yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak
akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”
(Sumber: Târîkh ath-Thabarî, jilid I, hlm. 164).
No comments:
Post a Comment